Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 November 2012

Papandayan, Sang kawah garang nan lembut dipandang..

Pos pertama paling indah.
Halo semuanya.. Rocks kembali lagi nih.. Tanggal 16-19 November yang lalu, gue bertualang ke sebuah gunung yang menjadi sebuah benteng alam bagi sebuah kota yang sudah cukup dikenal oleh khalayak ramai, kota yang dikenal dengan kenikmatan dodol dan jeruknya.. Yap!! Kota Garut!! Gunung yang terletak sekitar 29 km dari Kabupaten Garut, Jawa Barat tepatnya di kecamatan Cisurupan. Cerita dimulai dari keberangkatan gue dan teman-teman pada tanggal 16 November pukul 23.00 dari Bintaro, Tangerang Selatan. Kami semua merupakan rombongan besar karena ini merupakan acara Pendakian Umum 2012 yang diadakan STAPALA dan gue menjadi salah satu panitia. Rute perjalanan kami dimulai dari Bintaro, memasuki tol dalam kota Jakarta di pintu tol TB. Simatupang dan berakhir di pintu tol Cileunyi, Bandung. Dari Cileunyi, kami masih melanjutkan perjalanan melalui jalur Cicalengka-Nagrek yang berjarak kurang lebih 68 km.
Di tempat semburan uap panas.

Sepanjang perjalanan, kita bisa melihat pemandangan Gunung Guntur yang kemudian disusul dengan Gunung Cikuray dari kejauhan. Gunung Papandayan dan Cikuray cenderung berdekatan, sedangkan Gunung Guntur berada sedikit memisah di sebelah utara. Bagi yang tidak dalam rombongan, ada alternatif lain untuk mencapai kawasan ini. Bila dari Jakarta, kita bisa naik bus dengan trayek Jakarta-Garut dari terminal Kampung Rambutan dengan tujuan terminal Guntur, Garut. Ongkos untuk kelas ekonomi sekitar Rp 33.000,00 dan Rp 35.000,00 untuk kelas AC. Sesampainya di Guntur, kita bisa melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan mini bus dengan jurusan Cikajang. Kita cukup membayar Rp 5.000 untuk turun di Cisurupan, kemudian perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp 20.000,00 untuk sampai ke pemukiman warga yang digunakan untuk start point pertama pendakian. Atau kalau berombongan kita bisa menyewa mobil dari Terminal Guntur hingga ke pemukiman warga, sebagai patokan harga kita bisa menawar hingga Rp 250.000,00 untuk sepuluh orang.
Tetap narsis walau tersesat.

Sekitar pukul 06.00 kita tiba di pos pertama pendakian. Kawasan yang sudah cukup dikembangkan menjadi lahan parkir yang luas dan memiliki warung-warung dari kayu di sekelilingnya. Disini kita diwajibkan untuk melapor terlebih dahulu di pos pendakian sebelum kita mendaki. Peserta dan panitia pun mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Sekitar pukul 08.00 pendakian pun dimulai, sekitar 120 orang dibagi menjadi 9 tim peserta dan 1 tim panitia. Di setiap tim peserta pun disertakan 2 orang panitia sebagai guide.
Kondisi di tenda.
 Belum sampai satu jam kami berjalan, pemandangan kompleks kawah pun telah menyambut. Di sebagian jalur pendakian terdapat lubang-lubang kecil yang mengeluarkan asap panas dan juga berbau belerang.  Sangat disarankan untuk menggunakan masker/slayer selama melintasi jalur ini.

Setelah beberapa jam berlalu, kami berjalan di jalur yang berukuran cukup besar dan dipenuhi rerumputan. Disini kami mencari penunjuk jalan ke arah Pondok Saladah. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 ternyata jalur menuju pondok saladah sudah terlewati lumayan jauh karena miskomunikasi. Informasi tambahan,  penunjuk jalan ke arah pondok saladah berukuran kecil dan tergantung di pohon di bagian kiri jalur. Pukul 14.00 tepat kami mencapai ke pondok saladah. Disini kami segera memasak makanan dan mendirikan tenda. Sekitar jam 17.00 kabut yang turun semakin tebal dan menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Kamipun segera menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hujan dengan mempersiapkan tenda dengan seksama.

Suasana sebelum angin ribut.
Hujan pun turun, sekitar jam 19.00 hujan yang turun semakin deras ditambah dengan angin yang cukup kencang. Keduanya merupakan kombinasi yang cukup dahsyat untuk melepaskan pasak-pasak tenda kami karena tekstur tanah di pondok saladah ini cukup lembek. Beberapa flysheet tenda peserta pun berguguran. Peserta yang berada di tenda yang bocor pun diungsikan ke tenda yang masih kokoh berdiri. Disini, kelompok yang gue jaga (gue bertugas jadi guide). Justru lebih memilih untuk merasakan susah bareng-bareng. Anggota wanita yang berjumlah 3 orang, menolong dengan memasak minuman hangat dan mengeluarkan air yang cukup banyak membanjiri tenda. Sedangkan anggota pria, menolong membetulkan kerusakan bentuk tenda akibat angin besar dan juga memasang kembali flysheet dan pasak yang terlepas.

Hutan mati full kelompok 3.
Cobaan kami berhenti sekitar pukul 21.00 dan kami pun bisa sedikit menarik nafas lega sambil memasak sedikt minuman hangat untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk sukma..
Keesokan harinya, kami berangkat naik ke Tegal alun pada jam 07.00. Sebagian panitia tinggal di area perkemahan untuk menjaga barang-barang dan memasak makanan.
Kami berjalan melalui sebuah kawasan yang terlihat mencekam yang memiliki nama... "Hutan mati".. (bahkan namanya aja udah mencekam.. Hahaha). Menurut sumber kami, kawasan hutan mati ini terbentuk akibat erupsi dari Gunung Papandayan pada tahun 2002. Erupsi ini menewaskan cukup banyak warga sekitar, namun menyisakan sebuah keindahan alam yang tiada duanya. Kami pun akhirnya tiba di tegal alun sekitar jam 10.00. Kami berkeliling ke sekitar dan mulai turun pada pukul 12.00
Hutan mati kayak di Harry Potter.

Di pondok saladah, kami kembali memasak makanan untuk menyiapkan energi saat perjalanan menuruni Papandayan ini. Kami mulai berjalan turun sekitar pukul 13.00. Selama perjalanan, kami dihadang oleh hujan lebat yang lumayan menghambat perjalanan turun kami. Kami tiba di pos pertama pendakian sekitar pukul 15.00 dan mulai berangkat ke Bintaro pukul 16.00. Kami tiba di Bintaro jam 23.00 dengan membawa segenap memori yang teramat indah tentang arti dari kebersamaan.
Terima kasih untuk kelompok 3..
Trio Tegal Alun.
Ari Setiawan
Iva Wuri Marlinda
Riski Hidayati
Anggraeni Apriliani
Satria Adi Nugraha
Erlangga Nur Rizqi
Cahyo Purbo W.
Khamdan Asrofi
Muhammad Abdu
Wisatawan lokal.
Eldiun Pelba
Surahman Hidayat